WELLCOME TO MAMET'S BLOG...Jangan lupa follownya ya..

Selasa, 23 November 2010

Berzakat Cermin Keimanan Pribadi

Orang yang mengeluarkan zakat merasa bahwa apa yang ia berikan kepada orang fakir dan orang yang layak menerimanya bukanlah karena kemurahannya, akan tetapi ia adalah hak yang telah ditetapkan oleh Allah untuk si fakir melalui dirinya. Dan tidak menutup kemungkinan suatu saat posisinya bertukar dengan si fakir tersebut; dia berhak menerima shadaqah dan orang fakir itu yang mengeluarkan shadaqah.
Al Qur’an melarang kita membatalkan pahala shadaqah dengan menyebut-nyebutnya, menyakiti si penerima dan riya’. Ini merupakan aspek tarbawi (pendidikan dari Allah) yang amat penting yang dapat menumbuhkan keikhlasan pada Allah, tidak menganggu orang lain dan mengembangkan kasih sayang serta cinta kasih.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya’ kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin diatasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan dan Allah tidak memberi petunjuk kepada oraang-orang kafir.” (Al Baqarah: 264)
Allah itu Thayyib (baik) dan tidak menerima kecuali yang baik. Dan Al Qur’an menyuruh kita untuk menginfaqkan harta yang baik dan yang kita cintai, bukan yang buruk (jelek) dan kita benci. Ini merupakan aspek tarbawi yang amat penting untuk memerangi sifat egois dan hanya mencintai diri sendiri.
“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (Al Baqarah: 267)
“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu nafkahkan sebagian harta yang kamu cintai.” (Ali Imran:92)
Alangkah indahnya. Bila perasaan orang yang bershadaqah membumbung tinggi, hingga ia merasa lebih butuh bershadaqah kepada orang fakir daripada kebutuhan orang fakir pada shadaqah itu. Sebab ia lebih butuh pada kebaikan dan pahala yang disediakan oleh Allah pada hari kiamat daripada kebutuhan orang fakir pada harta di dunia. Ia membutuhkan pahala Allah agar dapat selamat dari api neraka dan masuk kedalam surga. Karenanya, dialah yang harus berusaha memberikan kepada orang fakir dan tidak perlu menunggu ucapan terima kasih darinya, bahkan dialah yang harus berterima kasih kepada si fakir yang memberinya kesempatan untuk mengumpulkan bekal yang bermanfaat di akhirat.
Banyak orang salah paham, mereka mengukur nikmat-nikmat Allah dengan gaji atau pendapatan yang masuk ke kantong mereka dan melupakaan nikmat-nikmat Allah yang lainnya, misalnya nikmat pendengaran, penglihatan, akal, kemampuan berbicara dan lainnya, seolah-olah itu semua merupakan hak yang mereka peroleh karena usahanya, bukan karena karunia yang Allah berikan kepada mereka. Karenanya, kita perlu meluruskan pemahaman tersebut dan merasa bahwa itu semua adalah karunia dan nikmat yang diberikan oleh Allah kepada kita. Andai kita disuruh memilih antara nikmat-nikmat diatas (pendengaran, penglihatan, dan lainnya) dan harta benda yang amat banyak, tentu kita tidak rela harta itu menjadi ganti bagi nikmat-nikmat tersebut.
Orang yang mengeluarkaan zakat, infaq dan shadaqah harus merasa bahwa saat ia memberikan harta kepada si fakir, pada hakikatnya memberikannya kepadaa Allah SWT.: “Tidaklah mereka mengetahui, bahwa Allah menerima taubat dari hamba-hamba-Nya dan menerima shadaqah.” (At Taubah: 104)
Sayyidah ‘Aisyah benar-benar dapat merasakan makna dari ayat tersebut, karenanya ia membersihkaan dan mengkilatkan dirham yang akan dishadaqahkan. Orang yang betul-betul beriman akan merasa malu kepada Allah yang telah memberikan nikmat, saat Dia menyeru kaum muslimin untuk berinfaq di jalan-Nya dengan bahasa meminjam.
“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak.” (Al Baqarah: 245)
Orang-orang yang betul-betul meresapi ayat ini, pasti tidak kuasa kecuali akan segera memenuhi seruan tersebut dengan perasaan malu dan khidmat.
Alangkah perlunya kita meneladani Rasulullah SAW dan para sahabatnya dalam hal kedermawanan dan semangat berinfaq; adalah Rasulullah SAW itu lebih pemurah dibanding angin yang berhembus, dan ia lebih pemurah lagi kalau di bulan Ramadhan. Demikian juga para sahabat; mereka mengeluarkan hartanya untuk kepentingan jihaad fii sabilillah dan untuk tentara Islam. Diriwayatkan bahwa ada seorang sahabat yang menginfaqkan hartanya dengan tanpa dihitung, hingga sebagian kerabatnya memprotesnya, lalu ia berkata kepada mereka: “Saya memiliki kebiasaan, yaitu kedermawanan. Karena itu saya takut mengubah kebiasaanku terhadap makhluk, hingga Allah mengubaah kebiasan-Nya padaku.”
Al Qur’an menganjurkan agar kita segera berinfaq sebelum hilang kesempatan karena kematian. Dan ini merupakan aspek tarbawi yang menumbuhkan semangat berlomba pada kebajikan:”Mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaaikan dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya.” (Al Mukminun: 61)
“Dan belaanjakanlah sebagian dari apa yang telaah kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu; lalu ia berkata: ‘Ya Tuhanku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian) ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat besedekah dan aku termasuk orang-orang yang shaleh ?’ Dan Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan (kematian) seseorang apabila datang waktu kematiannya. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Al Munafiqun: 10-11)
Kewajibaan berzakat yang meliputi berbagai macam buah-buahan, hasil-hasil bumi, binatang ternak, dan lainnya menandakan si fakir juga memiliki hak dalam setiap jenis tersebut. Ia tidak boleh terhalang mendapatkannya gara-gara kefakirannya. Zakat, infaq dan shadaqah secara keseluruhan merupakan pelajaran dan bekal bagi yang ingin berbekal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar